IDENTITAS NOVEL
Judul : Pada sebuah Kapal
Karangan : NH. Dini
Cetakan : Kedua, Tahun 1988
Tebal : 350 halaman
A. Sinopsis novel “Pada Sebuah Kapal”
Sri dilahirkan dari keluarga sederhana yang sangat menyenangi seni. Ayahnya adalah seorang pelukis. Sejak kecil, dia dimasukkan ke sekolah tari. Sri adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Mereka hidup dengan rukun di sebuah desa kecil yang terdapat di Semarang.
Saat umurnya tiga belas tahun, ayahnya meninggal dan setelah selesai sekolah menengah atas, Sri bekerja sebagai penyiar radio yang terdapat di kotanya.selama tiga tahun menjadi penyiar radio, ia mulai merasa jenuh dengan pekerjaannya. Sri mencoba mengikuti pendidikan pramugari yang ada di kota tersebut dan akhirnya mendapat kesempatan untuk diuji di Jakarta. Tapi sayang, ia tidak lulus menjadi pramugari disebabkan adanya penyakit yang terdapat di dalam paru – parunya. Setelah berobat, Sri harus istirahat selama tiga bulan dan ia memilih sebuah desa di Salatiga untuk menyembuhkan penyakitnya.
Setelah sembuh, Sri mencoba untuk hidup di Jakarta walaupun tidak menjadi pramugari. Ia yakin dengan bakat yang dimilikinya ia dapat hidup di Jakarta. Ia tinggal di rumah pamannya yang sebelumnya ditempati oleh kakaknya, Sutopo yang telah lebih dulu ke Jakarta. Kini Sutopo telah mempunyai rumah di Jakarta.
Di Jakarta ia bekerja sebagai penyiar radio dan penari untuk acara – acara istana. Di gedung latihan itu, Sri menyukai seorang laki – laki. Namanya Basir. Tapi perasaannya bertepuk sebelah tangan. Di sisi lain, Yus sangat mencintainya dan ingin menikah dengannya. Tapi Sri tidak begitu menyukai Yus, karena komunis. Selain itu ada Narti, teman kecil Sri waktu sekolah dasar yang sekarang menjadi pramugari. Narti sering main ke rumah paman Sri untuk mengunjunginya. Narti memperkenalkan kedua teman yang bekerja di angkatan udara kepada Sri, mereka bernama Saputro dan Mokar.
Pertemanan Sri dan Suparto awalnya biasa – biasa saja. Seperti biasanya, sikap Saputro sangat lembut dan perhatian. Dari sikapnya itu, Sri mulai jatuh hati dengan sosok Saputro. Kedekatan antara Sri dengan Saputro semakin dekat setelah mereka bertemu di acara Malam Kesenian Kongres Pemuda se-Asia. Dari pertemuan itulah, keduanya yakin kalau mereka saling mencintai. Saputro memiliki jadwal penerbangan yang tidak menentu sehingga kedatangannya tidak dapat diperkirakan oleh Sri. Setelah Saputro selesai mengikuti pendidikan di Cekoslovakia, mereka memutuskan untuk tunangan dan segera menikah. Setelah kembali dari Cekoslovakia, Saputro menemui Sri dan memberikan sebuah cincin sebagai tanda pengikat diantara mereka. Malam itu pun mereka habiskan bersama.
Seperti biasanya Saputro harus melakukan penerbangan dengan jadwal yang tidak dapat dipastikan. Walaupun jarak yang jauh, mereka telah menyiapkan segala sesuatu untuk pernikahan. Tapi kebahagiaan yang sebentar lagi akan diraih oleh Sri harus bergantikan air mata, karena Saputro tewas saat penerbangan dari Bandung menuju Jakarta karena cuaca yang buruk.
Kabar ini sangat melukai hati Sri. Dia seperti tidak memiliki semangat hidup, dan dia memutuskan untuk menenangkan diri. Dalam kesedihannya, Carl selalu menghibur Sri. Carl adalah teman Sutopo yang sebenarnya dia juga mencintai Sri. Namun ada satu hal yang tidak disukai Sri dari Carl, dia terlalu sombong dengan kekayaan yang dimiliki olehnya walaupun sikapnya baik terhadap Sri.
Sepuluh bulan setelah wafatnya Sutopo, Sri memutuskan akan menikah dengan Charles yang berkebangsaan Perancis. Charles adalah seorang diplomat yang sangat tertarik dengan kebudayaan. Keputusannya untuk menikah dengan Charles ditentang oleh keluarga, terutama Sutopo. Kakaknya itu tidak setuju kalau Sri menikah dengan Charles. Sutopo yakin Sri tidak akan bahagia menikah dengan Charles karena Sri belum begitu mengenal Charles. Namun Sri tidak peduli dengan nasehat keluarga. Ia tetap menikah dengan Charles dan kewarganegaraannya menjadi Perancis. Setelah menikah, mereka bermukim di Kobe, Jepang. Kehidupan rumah tangga Sri tidak bahagia, Charles yang pada awalnya baik, perhatian sebelum menikah, kini berubah menjadi seorang yang pemarah, pelit, dan suka membentak – bentak. Sri yang sejak awal tidak mencintai Charles, menjadi semakin benci karena sikap yang ditunjukan Charles. Dari Charles, Sri melahirkan seorang anak perempuan.
Pada kesempatan liburan, Charles mengajak anak dan istrinya untuk melakukan perjalanan ke beberapa Negara. Setelah dari Indonesia, mereka berangkat ke Saigon. Di sana Charles Menyuruh kepada istrinya untuk melakukan perjalanan dengan kapal. Sementara dirinya akan mengunjungi beberapa Negara yang akan dikunjunginya. Sri tidak keberatan melakukan perjalanan dengan kapal berdua dengan anaknya yang masih berumur dua tahun. Karena dia tidak pernah mengharapkan suaminya yang pemarah itu. Hanya kewajibanlah yang mengikat Sri untuk setia terhadap suaminya.
Perjalanan dari Saigon menuju Marseille membutuhkan waktu yang lumayan lama, sekitar tiga bulan. Di kapal itulah Sri bertemu dengan Michel, seorang komandan kapal yang juga kecewa dengan istrinya. Sejak pertama melihatnya, Sri sudah tertarik karena sikapnya dan pada beberapa kesempatan, mereka bertemu. hubungan antara Sri dengan Michel semakin dekat setelah acara pesta dansa. Sejak itu mereka sering bertemu dan cinta pun tumbuh diantara mereka berdua. Awalnya Sri berpikir untuk selalu setia terhadap suaminya yang tidak pernah dicintainya, tapi Sri juga berhak untuk mendapatkan kebahagiaan. Dia sangat mencintai Michel, dan Michel pun demikian. Sosok Michel mengingatkan Sri pada cintanya yang telah hilang. Selama perjalanan itulah dia menemukan kebahagiaan yang selama ini tidak pernah dirasakan olehnya.
Setelah sampai di Marseille, Charles sudah menunggunya dan Sri pun harus berpisah dengan kekasihnya Michel. Setelah pekerjaan suaminya selesai, mereka kembali ke Kobe. Kehidupan Sri berjalan seperti biasanya. Setelah sekian lama tidak bertemu, akhirnya Michel mengabarkanakan lewat telegram bahwa dia akan ke Yokohama. Sri sangat gembira mendengar kabar ini. Akhirnya Michel dan Sri bertemu, mereka saling mencintai dan pada kesempatan – kesempatan yang jarang itu mereka selalu menghabiskan waktu bersama. Sri dan Michel menyadari akan keterikatan mereka terhadap pernikahan yang mereka jalani dengan pasangan masing – masing. Namun keadaan itu tidak menghalangi cinta keduanya. Sri sadar akan kehidupan Michel, dan dia akan selalu mencintai Michel.
Judul : Pada sebuah Kapal
Karangan : NH. Dini
Cetakan : Kedua, Tahun 1988
Tebal : 350 halaman
A. Sinopsis novel “Pada Sebuah Kapal”
Sri dilahirkan dari keluarga sederhana yang sangat menyenangi seni. Ayahnya adalah seorang pelukis. Sejak kecil, dia dimasukkan ke sekolah tari. Sri adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Mereka hidup dengan rukun di sebuah desa kecil yang terdapat di Semarang.
Saat umurnya tiga belas tahun, ayahnya meninggal dan setelah selesai sekolah menengah atas, Sri bekerja sebagai penyiar radio yang terdapat di kotanya.selama tiga tahun menjadi penyiar radio, ia mulai merasa jenuh dengan pekerjaannya. Sri mencoba mengikuti pendidikan pramugari yang ada di kota tersebut dan akhirnya mendapat kesempatan untuk diuji di Jakarta. Tapi sayang, ia tidak lulus menjadi pramugari disebabkan adanya penyakit yang terdapat di dalam paru – parunya. Setelah berobat, Sri harus istirahat selama tiga bulan dan ia memilih sebuah desa di Salatiga untuk menyembuhkan penyakitnya.
Setelah sembuh, Sri mencoba untuk hidup di Jakarta walaupun tidak menjadi pramugari. Ia yakin dengan bakat yang dimilikinya ia dapat hidup di Jakarta. Ia tinggal di rumah pamannya yang sebelumnya ditempati oleh kakaknya, Sutopo yang telah lebih dulu ke Jakarta. Kini Sutopo telah mempunyai rumah di Jakarta.
Di Jakarta ia bekerja sebagai penyiar radio dan penari untuk acara – acara istana. Di gedung latihan itu, Sri menyukai seorang laki – laki. Namanya Basir. Tapi perasaannya bertepuk sebelah tangan. Di sisi lain, Yus sangat mencintainya dan ingin menikah dengannya. Tapi Sri tidak begitu menyukai Yus, karena komunis. Selain itu ada Narti, teman kecil Sri waktu sekolah dasar yang sekarang menjadi pramugari. Narti sering main ke rumah paman Sri untuk mengunjunginya. Narti memperkenalkan kedua teman yang bekerja di angkatan udara kepada Sri, mereka bernama Saputro dan Mokar.
Pertemanan Sri dan Suparto awalnya biasa – biasa saja. Seperti biasanya, sikap Saputro sangat lembut dan perhatian. Dari sikapnya itu, Sri mulai jatuh hati dengan sosok Saputro. Kedekatan antara Sri dengan Saputro semakin dekat setelah mereka bertemu di acara Malam Kesenian Kongres Pemuda se-Asia. Dari pertemuan itulah, keduanya yakin kalau mereka saling mencintai. Saputro memiliki jadwal penerbangan yang tidak menentu sehingga kedatangannya tidak dapat diperkirakan oleh Sri. Setelah Saputro selesai mengikuti pendidikan di Cekoslovakia, mereka memutuskan untuk tunangan dan segera menikah. Setelah kembali dari Cekoslovakia, Saputro menemui Sri dan memberikan sebuah cincin sebagai tanda pengikat diantara mereka. Malam itu pun mereka habiskan bersama.
Seperti biasanya Saputro harus melakukan penerbangan dengan jadwal yang tidak dapat dipastikan. Walaupun jarak yang jauh, mereka telah menyiapkan segala sesuatu untuk pernikahan. Tapi kebahagiaan yang sebentar lagi akan diraih oleh Sri harus bergantikan air mata, karena Saputro tewas saat penerbangan dari Bandung menuju Jakarta karena cuaca yang buruk.
Kabar ini sangat melukai hati Sri. Dia seperti tidak memiliki semangat hidup, dan dia memutuskan untuk menenangkan diri. Dalam kesedihannya, Carl selalu menghibur Sri. Carl adalah teman Sutopo yang sebenarnya dia juga mencintai Sri. Namun ada satu hal yang tidak disukai Sri dari Carl, dia terlalu sombong dengan kekayaan yang dimiliki olehnya walaupun sikapnya baik terhadap Sri.
Sepuluh bulan setelah wafatnya Sutopo, Sri memutuskan akan menikah dengan Charles yang berkebangsaan Perancis. Charles adalah seorang diplomat yang sangat tertarik dengan kebudayaan. Keputusannya untuk menikah dengan Charles ditentang oleh keluarga, terutama Sutopo. Kakaknya itu tidak setuju kalau Sri menikah dengan Charles. Sutopo yakin Sri tidak akan bahagia menikah dengan Charles karena Sri belum begitu mengenal Charles. Namun Sri tidak peduli dengan nasehat keluarga. Ia tetap menikah dengan Charles dan kewarganegaraannya menjadi Perancis. Setelah menikah, mereka bermukim di Kobe, Jepang. Kehidupan rumah tangga Sri tidak bahagia, Charles yang pada awalnya baik, perhatian sebelum menikah, kini berubah menjadi seorang yang pemarah, pelit, dan suka membentak – bentak. Sri yang sejak awal tidak mencintai Charles, menjadi semakin benci karena sikap yang ditunjukan Charles. Dari Charles, Sri melahirkan seorang anak perempuan.
Pada kesempatan liburan, Charles mengajak anak dan istrinya untuk melakukan perjalanan ke beberapa Negara. Setelah dari Indonesia, mereka berangkat ke Saigon. Di sana Charles Menyuruh kepada istrinya untuk melakukan perjalanan dengan kapal. Sementara dirinya akan mengunjungi beberapa Negara yang akan dikunjunginya. Sri tidak keberatan melakukan perjalanan dengan kapal berdua dengan anaknya yang masih berumur dua tahun. Karena dia tidak pernah mengharapkan suaminya yang pemarah itu. Hanya kewajibanlah yang mengikat Sri untuk setia terhadap suaminya.
Perjalanan dari Saigon menuju Marseille membutuhkan waktu yang lumayan lama, sekitar tiga bulan. Di kapal itulah Sri bertemu dengan Michel, seorang komandan kapal yang juga kecewa dengan istrinya. Sejak pertama melihatnya, Sri sudah tertarik karena sikapnya dan pada beberapa kesempatan, mereka bertemu. hubungan antara Sri dengan Michel semakin dekat setelah acara pesta dansa. Sejak itu mereka sering bertemu dan cinta pun tumbuh diantara mereka berdua. Awalnya Sri berpikir untuk selalu setia terhadap suaminya yang tidak pernah dicintainya, tapi Sri juga berhak untuk mendapatkan kebahagiaan. Dia sangat mencintai Michel, dan Michel pun demikian. Sosok Michel mengingatkan Sri pada cintanya yang telah hilang. Selama perjalanan itulah dia menemukan kebahagiaan yang selama ini tidak pernah dirasakan olehnya.
Setelah sampai di Marseille, Charles sudah menunggunya dan Sri pun harus berpisah dengan kekasihnya Michel. Setelah pekerjaan suaminya selesai, mereka kembali ke Kobe. Kehidupan Sri berjalan seperti biasanya. Setelah sekian lama tidak bertemu, akhirnya Michel mengabarkanakan lewat telegram bahwa dia akan ke Yokohama. Sri sangat gembira mendengar kabar ini. Akhirnya Michel dan Sri bertemu, mereka saling mencintai dan pada kesempatan – kesempatan yang jarang itu mereka selalu menghabiskan waktu bersama. Sri dan Michel menyadari akan keterikatan mereka terhadap pernikahan yang mereka jalani dengan pasangan masing – masing. Namun keadaan itu tidak menghalangi cinta keduanya. Sri sadar akan kehidupan Michel, dan dia akan selalu mencintai Michel.
Kutipan novel “Pada Sebuah Kapal”
*****
Malam itu aku seperti menandatangani suatu perjanjian. Waktu aku mengawininya, aku tahu bahwa aku tidak mencintainya. Tetapi aku berkata kepada diriku sendiri untuk mencintainya, aku kawin dengan dia karena aku suka padanya, dan karena aku takut. Aku sadar akan kehilanganku. Pemuda – pemuda di negeriku menganggap seorang wanita yang telah kehilngan kesuciannya sebagai sesuatu yang rendah. Aku tahu bahwa kawan – kawan Saputro mengetahui hubungan kami. Sebentar Nyoman nampak semakin mendekatiku. Beberapa kali dia membayangkan perhatiannya terhadapku. Tetapi aku tidak mau merubah rencana hidupnya. Apalagi karena aku tahu bahwa dia merasa tersiksa oleh kematian kawannya itu. Seolah tanggungjawabnyalah untuk memberiku kehidupan yang telah ku idamkan bersama Saputro. Mungkin Nyoman benar – benar mencintaiku. Tapi apakah arti perkataan “mungkin” bagiku sedangkan di lain pihak aku tahu benar bahwa Charles tidak dapat menunggu keputusanku untuk berangkat ke Jepang. Dan itulah sebabnya aku kawin dengan dia. Dia tidak kaya seperti Carl. Tapi darinya aku lebih berani mengharapkan kesetiaan daripada Carl. (halaman 123)
Kadang – kadang aku berpikir apakah yang ku dapat dari perkawinan? Ataukah itu disebabkan oleh perkawinan campuran? Ataukah itu disebabkan oleh nasibku? Benarkah seperti kata Sutopo bahwa aku tidak cukup mengenal orang yang ku kawin? Tapi aku telah membacai surat – suratnya. Kini aku mengerti bahwa pikiran orang di surat sama sekali tidak bisa ditandai sebagai cerminan watak. Dan apakah sebenarnya yang ku ketahui dari Charles sebelum perkawinan? Pikiranku terlalu kalut ketika aku sadar bahwa Saputro meninggal dan tetap meninggal untuk tidak akan muncul kembali. (halaman 124)
Anakku hampir berumur dua tahun. Dinas suamiku di negeri ini belum selesai. Tetapi dia diperbolehkan mengambil libur panjang, karena dia akan tinggal di tempat yang sama selama dua tahun lagi yang berarti setahun lebih lama daripada waktu dinas yang biasa. Rencananya amat berliku – liku. Kami akan bersama – sama menuju Indonesia dan tinggal di sana selama satu bulan. Dari sana kami ke Saigon, di mana Charles akan melepaskan kami, anakku dan aku, dengan sebuah kapal. Dia akan meneruskan perjalanan dengan pesawat terbang, melalui kota – kota di India yang telah lama ingin dikunjunginya. (halaman 147)
Aku tidak berkeberatan mengadakan perjalanan seorang diri. Tetapi cara suamiku melepaskan kami hanya untuk bersenang – senang, ini tidak ku setujui. Beberapa kawan orang Perancis berkata bahwa tidak seharusnya membiarkan suamiku leluasa seorang diri. Aku dengan tenang menjawab bahwa aku mempercayai Charles. Yang mengkhawatirkanku hanyalah kemungkinan ada kecelakaan, akan garis nasib yang tidak bias kita ketahui. Tiba – tiba aku menjadi cemas akan hal ini. Dengan ragu – ragu aku mengatakannya kepada Charles.
“ Kau terpengaruh oleh omongan orang – orang Perancis itu.”
Tidak, tentu saja ini tidak benar. Tetapi aku berpikir seketika bahwa Charles akan tersinggung kalau mengetahui bahwa orang – orang itu bias mempengaruhiku, lebih daripada dia sendiri bisa menyuapkan pendapatnya kepdaku.
“Mereka memberiku pikiran untuk ku pertimbangkan. Aku memutuskan bahwa kau lebih baik tidak mengadakan perjalanan ke India kali ini. Kita akan ke sana bersama – sama.”
“Bersama – sama? Dengan anak kita? Kau akan membawanya di bawah panas terik matahari ke tempat – tempat yang liar semacam itu? Tidak!” katanya dengan tegas. “Aku akan berangkat sendiri.”
“Dia akan berumur tiga bulan lebih tua kalau kita kembali dari Eropa. Kita akan lebih leluasa mengajaknya kemana – mana.”
“Aku akan lebih leluasa bepergian sendiri,” katanya memutuskan bicaraku. (halaman 147)
*****
Malam itu aku seperti menandatangani suatu perjanjian. Waktu aku mengawininya, aku tahu bahwa aku tidak mencintainya. Tetapi aku berkata kepada diriku sendiri untuk mencintainya, aku kawin dengan dia karena aku suka padanya, dan karena aku takut. Aku sadar akan kehilanganku. Pemuda – pemuda di negeriku menganggap seorang wanita yang telah kehilngan kesuciannya sebagai sesuatu yang rendah. Aku tahu bahwa kawan – kawan Saputro mengetahui hubungan kami. Sebentar Nyoman nampak semakin mendekatiku. Beberapa kali dia membayangkan perhatiannya terhadapku. Tetapi aku tidak mau merubah rencana hidupnya. Apalagi karena aku tahu bahwa dia merasa tersiksa oleh kematian kawannya itu. Seolah tanggungjawabnyalah untuk memberiku kehidupan yang telah ku idamkan bersama Saputro. Mungkin Nyoman benar – benar mencintaiku. Tapi apakah arti perkataan “mungkin” bagiku sedangkan di lain pihak aku tahu benar bahwa Charles tidak dapat menunggu keputusanku untuk berangkat ke Jepang. Dan itulah sebabnya aku kawin dengan dia. Dia tidak kaya seperti Carl. Tapi darinya aku lebih berani mengharapkan kesetiaan daripada Carl. (halaman 123)
Kadang – kadang aku berpikir apakah yang ku dapat dari perkawinan? Ataukah itu disebabkan oleh perkawinan campuran? Ataukah itu disebabkan oleh nasibku? Benarkah seperti kata Sutopo bahwa aku tidak cukup mengenal orang yang ku kawin? Tapi aku telah membacai surat – suratnya. Kini aku mengerti bahwa pikiran orang di surat sama sekali tidak bisa ditandai sebagai cerminan watak. Dan apakah sebenarnya yang ku ketahui dari Charles sebelum perkawinan? Pikiranku terlalu kalut ketika aku sadar bahwa Saputro meninggal dan tetap meninggal untuk tidak akan muncul kembali. (halaman 124)
Anakku hampir berumur dua tahun. Dinas suamiku di negeri ini belum selesai. Tetapi dia diperbolehkan mengambil libur panjang, karena dia akan tinggal di tempat yang sama selama dua tahun lagi yang berarti setahun lebih lama daripada waktu dinas yang biasa. Rencananya amat berliku – liku. Kami akan bersama – sama menuju Indonesia dan tinggal di sana selama satu bulan. Dari sana kami ke Saigon, di mana Charles akan melepaskan kami, anakku dan aku, dengan sebuah kapal. Dia akan meneruskan perjalanan dengan pesawat terbang, melalui kota – kota di India yang telah lama ingin dikunjunginya. (halaman 147)
Aku tidak berkeberatan mengadakan perjalanan seorang diri. Tetapi cara suamiku melepaskan kami hanya untuk bersenang – senang, ini tidak ku setujui. Beberapa kawan orang Perancis berkata bahwa tidak seharusnya membiarkan suamiku leluasa seorang diri. Aku dengan tenang menjawab bahwa aku mempercayai Charles. Yang mengkhawatirkanku hanyalah kemungkinan ada kecelakaan, akan garis nasib yang tidak bias kita ketahui. Tiba – tiba aku menjadi cemas akan hal ini. Dengan ragu – ragu aku mengatakannya kepada Charles.
“ Kau terpengaruh oleh omongan orang – orang Perancis itu.”
Tidak, tentu saja ini tidak benar. Tetapi aku berpikir seketika bahwa Charles akan tersinggung kalau mengetahui bahwa orang – orang itu bias mempengaruhiku, lebih daripada dia sendiri bisa menyuapkan pendapatnya kepdaku.
“Mereka memberiku pikiran untuk ku pertimbangkan. Aku memutuskan bahwa kau lebih baik tidak mengadakan perjalanan ke India kali ini. Kita akan ke sana bersama – sama.”
“Bersama – sama? Dengan anak kita? Kau akan membawanya di bawah panas terik matahari ke tempat – tempat yang liar semacam itu? Tidak!” katanya dengan tegas. “Aku akan berangkat sendiri.”
“Dia akan berumur tiga bulan lebih tua kalau kita kembali dari Eropa. Kita akan lebih leluasa mengajaknya kemana – mana.”
“Aku akan lebih leluasa bepergian sendiri,” katanya memutuskan bicaraku. (halaman 147)
Dengan sedih aku memandang ke luar. Aku tidak pernah lagi memandangi wajahnya . bagiku segala yang membikinku sakit terkumpul di sana.
“Aku sudah memutuskan untuk pergi seorang diri, dan akan tetap terjadi demikian,” katanya lagi.
“Aku juga mempunyai keputusan,” kataku perlahan. “Kalau terjadi apa – apa dengan dirimu aku tidak akan menangisimu. Aku juga tidak akan mau bersusah payah langkahku terhambat oleh seorang anak kecil yang lahir dari kau. Dia akan ku berikan pada sebuah rumah penitipan anak – anak. Aku tidak mau membawanya bersamaku.”
Sebentar dia tidak bersuara seolah tidak mengerti apa maksudku.
“Bagaimana?” akhirnya dia bertanya.
“Kalau kau mati dalam perjalanan itu, anak kita akan ku masukkan ke rumah sosial.”
“Kau tidak bersungguh – sungguh. Kau gila!” serunya. Matanya melotot menatapku.
“Aku mengatakan apa yang ku pikir.”
“Aku tidak percaya!” dan dia memaksa merendahkan suaranya.
“Kau seorang ibu, hanya dari kaulah anakmu akan mendapatkan cinta yang sebenarnya. Aku tidak percaya.”
“Aku tidak peduli kau percaya atau tidak. Bagiku anakku merupakan penghambat yang besar kalau aku harus bekrja mencari nafkah di Eropa. Aku bukan lagi warga negara Indonesia dan aku tidak mau kembali ke negeriku untuk bekerja. Aku akan memilih negeriku yang kedua. Kau selalu berkata bahwa aku tidak akan bisa mengerjakan sesuatu pun di negerimu. Tetapi aku akan mencoba dan aku akan membuktikan bahwa aku juga sanggup mencari kehidupan di negeri itu sebagaimana orang – orang di sana.”
Dengan keheranan dia memandang kepadaku. Seolah mengukur tubuhku, melihat seekor binatang mengerikan yang baru kali itu dilihatnya. Tiba – tiba dia terduduk, menutup mukanya dengan kedua tangan.
“Tidak, aku tidak percaya. Perempuan apakah yang telah ku kawini ini?” setengah berbisik aku mendengar kata – katanya. (halaman 148)
Sikapnya yang cengeng itu menggelikanku.
“Aku juga berpikir laki – laki apakah yang telah ku kawini ini? Dia terlalu lama bersendiri, terlalu mau memerintah, dan selalu mau menang sendiri!” kataku dengan suara ejekan yang tidak bias ku tahan lagi. “Aku mau supaya kita benar – benar memikirkan perceraian kali ini. Sesampai di Eropa aku akan tinggal sendiri. Kau bawa anakmu kalau kau mau, aku tidak membutuhkannya.”
Dan ku tinggalkan dia dengan segala pemikirannya kalau memang dia mau memikirkan sedikit mengenai hal kami berdu. Aku sudah terlalu kenyang akan sikapnya yang serba mau senang sendiri. Laki – laki itu bagiku tidak lain hanyalah sebuah onggokan daging yang sama sekali tidak menarik mataku. (halaman 149)
Rencananya tetap. Aku amat jarang berbicara dengan dia. Setelah tinggal satu bulan di negeriku, kami terbang ke Saigon. Anakku dan aku mengambil kapal yang menuju ke Perancis. Dan Charles mencium keningku untuk perpisahan.
“Aku akan berusaha sampai di Marseille untuk menjemputmu,” katanya.
Sebetulnya aku tidak perlu menjawab . tetapi kebutuhan untuk menyakiti hatinya mendorongku untuk mengatakan sesuatu.
“Seperti kau mau. Tanpa kau kami juga bias turun dari kapal dan sampai di tempat yang kami tuju.”
“Mengapa kau menjadi sejahat ini?” tanyanya.
Aku mencibirkan bibir dengan tiada sadar
“Ka tau benar aku tidak akan bepergian dengan perempuan lain, tidak akan menemui perempuan lain di India.”
Oh, jadi dia mengiraku cemburu!
“Aku tidak peduli apa yang kau kerjakan. Kau mau tidur dengan siapa pun, itu bukan lagi urusanku.”
Dia tertegun seperti hendak mengatakan sesuatu. Tapi aku menghindarinya. (halaman 149)
Runtutan waktu – waktuku ku atur sebaik – baiknya. Pagi – pagi ku bawa anakku ke mamar bermain. Kemudian aku kembali ke kabin untuk mengerjakan cucian atau menggosok pakaian di ruang seterikaan yang ada di bagian belakang kapal. Sesudah itu aku biasanya duduk – duduk di geladak membaca buku, bercakap – cakap dengan penumpang lain, dengan Marianne, Tuan Haller yang semakin hari menjadi semakin perhatian, bermain kartu dengan Nyonya Bucler atau menulis surat. ( halaman 156)
Aku mendapat beberapa orang kawan yang baik pada hari ketiga di kapal. Penumpang – penumpang kulit putih kebanyakan berjemur di bawah panas matahari untuk mendapatkan warna kecoklatan seperti kulitku. Ini menjadi tontonan yang paling ku senangi. Tidak hentinya mereka mengejekku karena aku takut akan menjadi hitam. Kalau berjalan di ata geladak, aku mencari tempat – tempat yang lindung. Dengan serta merta mereka tertawa dan menarik – narikku ke bagian yang kena panas. (halaman 156)
Keesokan harinya kapal sampai di Kolombo. Marianne dan keluarganya turun. Sebagian besar penumpang mencatatkan diri untuk menyertai tamasya yang diadakan oleh perusahaan kapal. Mereka mengunjungi pulau Sri Lanka, dan akan kembali ke pelabuhan keesokan harinya. Aku tidak turut dengan mereka, karena tidak ada yang menjaga anakku. (halaman 163)
Pada malam hari ku lihat ruang makan lengang. Di sudut sebelah kiri hanya ada dua orang. Sedangkan di sebelah kana nada seorang wanita tua bangsa Swedia, dan aku seorang diri di mejaku. Nyonya Bucler juga telah turun untuk kemudia menemui anaknya di Kalkuta. Tuan Haller mengikuti rombongan tamasya. Di tengah ruang ku lihat keempat perwira lengkap. Komandan Muret tidak kelihatan. Aku biasa makan sendirian. Tetapi di kapal, itu adalah kali yang pertama. (halaman 164)
Sesudah makan, aku menerima ajakan Nyonya bangsa Swedia untuk minum kopi bersama – sama. Percakapan dengan dia tidak mudah karena dia hanya mengerti bahasa inggris dan perancis sedikit – sedikit. Aku mengambil air sereh karena malam hari aku tidak suka minum kopi. Sebentar – sebentar mataku tidak dapat tertahan melayang ke meja panjang dimana di dekatnya terletak bar kapal. Dia bersama perwira – perwira lain minum kopi di sana. Setelah cangkirku kosong, aku mengucapkan selamat malam kepada kawan semejaku, lalu menuju ke salon untuk membaca buku sambil mendengarkan musik. Ku pilih tempat dudukku yang biasa, di sudut dari mana aku bisa melihat ke luar, jauh dari pintu masuk. Selintas – selintas ku lirik bayangan celana dan sepatu putih yang hilir mudik dari sebelah kaca. Perwira – perwira kapal sedang melakukan olah raga gerak jalan sesudah makan malam. (halaman 164 )
Sementara aku tenggelam ke dalam cerita bukuku, ku dengar pintu terbuka suara:
“Seluruh kapal ini milik Anda, Nyonya.”
Aku menegakkan kepala. Ku lihat dia berjalan ke arahku sambil tersenyum.
“Mengapa?” hanya itulah yang dapat ku ucapkan.
“Karena Nyonya adalah satu – satunya penumpang sekarang.”
“Tadi ada lain – lainnya di kamar makan.”
“Mereka baru turun ke kota.”
Kami berpandangan seperti dua orang yang saling mengenal sejak berpuluh tahun; tanpa kekenesan, tanpa rabaan, baru kali itulah aku melihatnya baik – baik dari dekat. Dadaku tiba – tiba memanas.
“Apa yang anda baca?” katanya, dan diambilnya buku dari pangkuanku, lalu duduk di sampingku.
“Aku sudah memutuskan untuk pergi seorang diri, dan akan tetap terjadi demikian,” katanya lagi.
“Aku juga mempunyai keputusan,” kataku perlahan. “Kalau terjadi apa – apa dengan dirimu aku tidak akan menangisimu. Aku juga tidak akan mau bersusah payah langkahku terhambat oleh seorang anak kecil yang lahir dari kau. Dia akan ku berikan pada sebuah rumah penitipan anak – anak. Aku tidak mau membawanya bersamaku.”
Sebentar dia tidak bersuara seolah tidak mengerti apa maksudku.
“Bagaimana?” akhirnya dia bertanya.
“Kalau kau mati dalam perjalanan itu, anak kita akan ku masukkan ke rumah sosial.”
“Kau tidak bersungguh – sungguh. Kau gila!” serunya. Matanya melotot menatapku.
“Aku mengatakan apa yang ku pikir.”
“Aku tidak percaya!” dan dia memaksa merendahkan suaranya.
“Kau seorang ibu, hanya dari kaulah anakmu akan mendapatkan cinta yang sebenarnya. Aku tidak percaya.”
“Aku tidak peduli kau percaya atau tidak. Bagiku anakku merupakan penghambat yang besar kalau aku harus bekrja mencari nafkah di Eropa. Aku bukan lagi warga negara Indonesia dan aku tidak mau kembali ke negeriku untuk bekerja. Aku akan memilih negeriku yang kedua. Kau selalu berkata bahwa aku tidak akan bisa mengerjakan sesuatu pun di negerimu. Tetapi aku akan mencoba dan aku akan membuktikan bahwa aku juga sanggup mencari kehidupan di negeri itu sebagaimana orang – orang di sana.”
Dengan keheranan dia memandang kepadaku. Seolah mengukur tubuhku, melihat seekor binatang mengerikan yang baru kali itu dilihatnya. Tiba – tiba dia terduduk, menutup mukanya dengan kedua tangan.
“Tidak, aku tidak percaya. Perempuan apakah yang telah ku kawini ini?” setengah berbisik aku mendengar kata – katanya. (halaman 148)
Sikapnya yang cengeng itu menggelikanku.
“Aku juga berpikir laki – laki apakah yang telah ku kawini ini? Dia terlalu lama bersendiri, terlalu mau memerintah, dan selalu mau menang sendiri!” kataku dengan suara ejekan yang tidak bias ku tahan lagi. “Aku mau supaya kita benar – benar memikirkan perceraian kali ini. Sesampai di Eropa aku akan tinggal sendiri. Kau bawa anakmu kalau kau mau, aku tidak membutuhkannya.”
Dan ku tinggalkan dia dengan segala pemikirannya kalau memang dia mau memikirkan sedikit mengenai hal kami berdu. Aku sudah terlalu kenyang akan sikapnya yang serba mau senang sendiri. Laki – laki itu bagiku tidak lain hanyalah sebuah onggokan daging yang sama sekali tidak menarik mataku. (halaman 149)
Rencananya tetap. Aku amat jarang berbicara dengan dia. Setelah tinggal satu bulan di negeriku, kami terbang ke Saigon. Anakku dan aku mengambil kapal yang menuju ke Perancis. Dan Charles mencium keningku untuk perpisahan.
“Aku akan berusaha sampai di Marseille untuk menjemputmu,” katanya.
Sebetulnya aku tidak perlu menjawab . tetapi kebutuhan untuk menyakiti hatinya mendorongku untuk mengatakan sesuatu.
“Seperti kau mau. Tanpa kau kami juga bias turun dari kapal dan sampai di tempat yang kami tuju.”
“Mengapa kau menjadi sejahat ini?” tanyanya.
Aku mencibirkan bibir dengan tiada sadar
“Ka tau benar aku tidak akan bepergian dengan perempuan lain, tidak akan menemui perempuan lain di India.”
Oh, jadi dia mengiraku cemburu!
“Aku tidak peduli apa yang kau kerjakan. Kau mau tidur dengan siapa pun, itu bukan lagi urusanku.”
Dia tertegun seperti hendak mengatakan sesuatu. Tapi aku menghindarinya. (halaman 149)
Runtutan waktu – waktuku ku atur sebaik – baiknya. Pagi – pagi ku bawa anakku ke mamar bermain. Kemudian aku kembali ke kabin untuk mengerjakan cucian atau menggosok pakaian di ruang seterikaan yang ada di bagian belakang kapal. Sesudah itu aku biasanya duduk – duduk di geladak membaca buku, bercakap – cakap dengan penumpang lain, dengan Marianne, Tuan Haller yang semakin hari menjadi semakin perhatian, bermain kartu dengan Nyonya Bucler atau menulis surat. ( halaman 156)
Aku mendapat beberapa orang kawan yang baik pada hari ketiga di kapal. Penumpang – penumpang kulit putih kebanyakan berjemur di bawah panas matahari untuk mendapatkan warna kecoklatan seperti kulitku. Ini menjadi tontonan yang paling ku senangi. Tidak hentinya mereka mengejekku karena aku takut akan menjadi hitam. Kalau berjalan di ata geladak, aku mencari tempat – tempat yang lindung. Dengan serta merta mereka tertawa dan menarik – narikku ke bagian yang kena panas. (halaman 156)
Keesokan harinya kapal sampai di Kolombo. Marianne dan keluarganya turun. Sebagian besar penumpang mencatatkan diri untuk menyertai tamasya yang diadakan oleh perusahaan kapal. Mereka mengunjungi pulau Sri Lanka, dan akan kembali ke pelabuhan keesokan harinya. Aku tidak turut dengan mereka, karena tidak ada yang menjaga anakku. (halaman 163)
Pada malam hari ku lihat ruang makan lengang. Di sudut sebelah kiri hanya ada dua orang. Sedangkan di sebelah kana nada seorang wanita tua bangsa Swedia, dan aku seorang diri di mejaku. Nyonya Bucler juga telah turun untuk kemudia menemui anaknya di Kalkuta. Tuan Haller mengikuti rombongan tamasya. Di tengah ruang ku lihat keempat perwira lengkap. Komandan Muret tidak kelihatan. Aku biasa makan sendirian. Tetapi di kapal, itu adalah kali yang pertama. (halaman 164)
Sesudah makan, aku menerima ajakan Nyonya bangsa Swedia untuk minum kopi bersama – sama. Percakapan dengan dia tidak mudah karena dia hanya mengerti bahasa inggris dan perancis sedikit – sedikit. Aku mengambil air sereh karena malam hari aku tidak suka minum kopi. Sebentar – sebentar mataku tidak dapat tertahan melayang ke meja panjang dimana di dekatnya terletak bar kapal. Dia bersama perwira – perwira lain minum kopi di sana. Setelah cangkirku kosong, aku mengucapkan selamat malam kepada kawan semejaku, lalu menuju ke salon untuk membaca buku sambil mendengarkan musik. Ku pilih tempat dudukku yang biasa, di sudut dari mana aku bisa melihat ke luar, jauh dari pintu masuk. Selintas – selintas ku lirik bayangan celana dan sepatu putih yang hilir mudik dari sebelah kaca. Perwira – perwira kapal sedang melakukan olah raga gerak jalan sesudah makan malam. (halaman 164 )
Sementara aku tenggelam ke dalam cerita bukuku, ku dengar pintu terbuka suara:
“Seluruh kapal ini milik Anda, Nyonya.”
Aku menegakkan kepala. Ku lihat dia berjalan ke arahku sambil tersenyum.
“Mengapa?” hanya itulah yang dapat ku ucapkan.
“Karena Nyonya adalah satu – satunya penumpang sekarang.”
“Tadi ada lain – lainnya di kamar makan.”
“Mereka baru turun ke kota.”
Kami berpandangan seperti dua orang yang saling mengenal sejak berpuluh tahun; tanpa kekenesan, tanpa rabaan, baru kali itulah aku melihatnya baik – baik dari dekat. Dadaku tiba – tiba memanas.
“Apa yang anda baca?” katanya, dan diambilnya buku dari pangkuanku, lalu duduk di sampingku.
“Anda gemar sekali membaca,” nada suaranya tidak bertanya.
“Gemar sekali,” jawabku.
“Saya lihat Anda selalu menyendiri di pojok dengan sebuah buku.”
Aku menegakkan kepala untuk benar – benar menatapnya.
“Anda mengetahui benar kebiasaan saya.”
“Semuanya,” katanya, pada mukanya terbayang kegembiraannya karena dapat mengejutkanku. “Anda sering bersama – sama dengan seorang Nyonya yang berkulit cokelat. Dia turun di sini saya kira.”
“Ya, tadi pagi dia sudah turun.”
Sekali lagi ku perhatikan kepuasan perasaannya.
“Satu hal lagi. Anda adalah satu – satunya penumpang yang pernah menari dengan baik di kapal ini.”
Aku tersenyum. Kami bersama – sama tersenyum sambil berpandangan; wajahnya, matanya. Rambutnya kelam seperti malam, tersembunyi di bawah topi kerjanya. Kami kemudian berbicara mengenai buku – buku, musik, dan apa saja yabg singgah di pikiran pada waktu itu. Dia mengajakku naik ke kamarnya untuk mengambil buku yang telah dibacanya, yang dikiranya aku akan menyukainya. Kamarnya seperti kamar perwira – perwira lainnya terbagi dua bagian: kamar kerja dan kamar tidur. Aku duduk di kursi kamar kerjanya sebentar, lalu kami kembali turun ke salon.
“Anda juga mengikuti siaran – siaran musik klasik pada sore hari?” dia bertanya.
“Selalu.”
“Kalau anda mau melihat – lihat bagian bawah, besok pagi sesudah jam sepuluh saya antar.”
Aku berterima kasih atas janjinya. Lalu kami berpisah. Aku kembali ke kamarku. Hatiku dipenuhi rasa bahagia dan kerinduan yang berkecamuk tidak menentu. Aku mencintainya, bisikku seorang diri. Setiap ku tatap matanya, ku lihat ada sinar yang menyala dan menghanguskan seluruh kesadaranku. (halaman 165)
Sehabis makan malam aku ke salon. Aku tahu dia akan datang, dan pengetahuan ini membikinku semakin tak sabar menantikannya. Dan sewaktu dia mengajakku naik ke tempatnya untuk mengambil buku lain, aku tahu bahwa aku seharusnya tidak menyetujuinya. Tetapi aku naik ke kamarnya. Ku lihat dia mengunci pintu dengan ketenangan yang kekal. Dia meletakkan kunci tersebut di depanku dan menatap wajahku. Untuk kesekian kalinya kami berpandangan. Dan begitulah. ( halaman 173)
“Aku telah mengkhianati suamiku,” seperti membutuhkan pengakuan, aku berkata perlahan.
“Ini yang pertama kalinya?”
Aku mengangguk.
“Kau menyesal?”
Benarkah aku menyesal? Aku tidak menyesalinya. Kebahagiaan yang baru ku kecap bersamanya belum pernah ku rasakan. Seolah baru sekali itulah aku benar – benar mengenal kedalaman arti hidup antara laki – laki dan perempuan.
“Aku tidak mengetahui namamu?” kataku kemudian. (halaman 174)
Kami berpandangan, seolah hendak menerobos isi hati masing – masing.
“Kau lihat namaku di daftar penumpang. Panggillah aku Michel.
“Michel,” ulangku setengah berbisik.
“Dan kau, kau adalah penariku.”
Aku hendak menyebutkan namaku, tetapi dia meneruskan bicaranya.
“Ketika ku lihat kau menari, aku seperti seperti melihat sebuah boneka dalam mimpiku. Jauh sekali, tetapi terang dan keemasan. Aku boleh menyebutmu bonekaku yang mungil bukan?”
Aku tersenyum. Aku bahagia. (halaman 175)
Di Marseille, Charles menunggu kami. Ketika dia secara kesopanan hendak mencium pipiku di geladak, aku hampir memalingkan mukaku. Yang ku temui adalah seorang laki – laki yang semakin menggendut perutnya. Keringatnya tajam berbau besi tua. Tangannya selalu bertengger dengan pongahnya di pinggang. Kalau berbicara jarinya mengacung ke depan hampir menyentuh hidungku. Aku dengan kecut mengundurkan diri satu atau dua langkah sambil menoleh untuk menyembunyikan rasa muak. (halaman 181)
Referensi: http://tsuharyati.blogspot.com/2008/10/resensi-novel-angkatan-66.html
“Gemar sekali,” jawabku.
“Saya lihat Anda selalu menyendiri di pojok dengan sebuah buku.”
Aku menegakkan kepala untuk benar – benar menatapnya.
“Anda mengetahui benar kebiasaan saya.”
“Semuanya,” katanya, pada mukanya terbayang kegembiraannya karena dapat mengejutkanku. “Anda sering bersama – sama dengan seorang Nyonya yang berkulit cokelat. Dia turun di sini saya kira.”
“Ya, tadi pagi dia sudah turun.”
Sekali lagi ku perhatikan kepuasan perasaannya.
“Satu hal lagi. Anda adalah satu – satunya penumpang yang pernah menari dengan baik di kapal ini.”
Aku tersenyum. Kami bersama – sama tersenyum sambil berpandangan; wajahnya, matanya. Rambutnya kelam seperti malam, tersembunyi di bawah topi kerjanya. Kami kemudian berbicara mengenai buku – buku, musik, dan apa saja yabg singgah di pikiran pada waktu itu. Dia mengajakku naik ke kamarnya untuk mengambil buku yang telah dibacanya, yang dikiranya aku akan menyukainya. Kamarnya seperti kamar perwira – perwira lainnya terbagi dua bagian: kamar kerja dan kamar tidur. Aku duduk di kursi kamar kerjanya sebentar, lalu kami kembali turun ke salon.
“Anda juga mengikuti siaran – siaran musik klasik pada sore hari?” dia bertanya.
“Selalu.”
“Kalau anda mau melihat – lihat bagian bawah, besok pagi sesudah jam sepuluh saya antar.”
Aku berterima kasih atas janjinya. Lalu kami berpisah. Aku kembali ke kamarku. Hatiku dipenuhi rasa bahagia dan kerinduan yang berkecamuk tidak menentu. Aku mencintainya, bisikku seorang diri. Setiap ku tatap matanya, ku lihat ada sinar yang menyala dan menghanguskan seluruh kesadaranku. (halaman 165)
Sehabis makan malam aku ke salon. Aku tahu dia akan datang, dan pengetahuan ini membikinku semakin tak sabar menantikannya. Dan sewaktu dia mengajakku naik ke tempatnya untuk mengambil buku lain, aku tahu bahwa aku seharusnya tidak menyetujuinya. Tetapi aku naik ke kamarnya. Ku lihat dia mengunci pintu dengan ketenangan yang kekal. Dia meletakkan kunci tersebut di depanku dan menatap wajahku. Untuk kesekian kalinya kami berpandangan. Dan begitulah. ( halaman 173)
“Aku telah mengkhianati suamiku,” seperti membutuhkan pengakuan, aku berkata perlahan.
“Ini yang pertama kalinya?”
Aku mengangguk.
“Kau menyesal?”
Benarkah aku menyesal? Aku tidak menyesalinya. Kebahagiaan yang baru ku kecap bersamanya belum pernah ku rasakan. Seolah baru sekali itulah aku benar – benar mengenal kedalaman arti hidup antara laki – laki dan perempuan.
“Aku tidak mengetahui namamu?” kataku kemudian. (halaman 174)
Kami berpandangan, seolah hendak menerobos isi hati masing – masing.
“Kau lihat namaku di daftar penumpang. Panggillah aku Michel.
“Michel,” ulangku setengah berbisik.
“Dan kau, kau adalah penariku.”
Aku hendak menyebutkan namaku, tetapi dia meneruskan bicaranya.
“Ketika ku lihat kau menari, aku seperti seperti melihat sebuah boneka dalam mimpiku. Jauh sekali, tetapi terang dan keemasan. Aku boleh menyebutmu bonekaku yang mungil bukan?”
Aku tersenyum. Aku bahagia. (halaman 175)
Di Marseille, Charles menunggu kami. Ketika dia secara kesopanan hendak mencium pipiku di geladak, aku hampir memalingkan mukaku. Yang ku temui adalah seorang laki – laki yang semakin menggendut perutnya. Keringatnya tajam berbau besi tua. Tangannya selalu bertengger dengan pongahnya di pinggang. Kalau berbicara jarinya mengacung ke depan hampir menyentuh hidungku. Aku dengan kecut mengundurkan diri satu atau dua langkah sambil menoleh untuk menyembunyikan rasa muak. (halaman 181)
Referensi: http://tsuharyati.blogspot.com/2008/10/resensi-novel-angkatan-66.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar