'http://twitter.com/novitriarianty, My name is Novi Tri Arianty. I was born on 07 November 93. I ♥ Purple, pink and green. I ♥ Psikologi and Biopsikologi. Novi Tri Arianty

Sabtu, 10 Desember 2011

Penemu Obat Kanker Asal Papua


Apa jadinya jika kekayaan dan keragaman alam Papua diolah masyarakat setempat? Hasilnya adalah daya sembuh. Padahal, obat itu berasal dari benalu, parasit namun perpaduan itu memberi harapan bagi penderita sakit ganas seperti kanker untuk terbebas dari penderitaan. Perpaduan itu dengan jeli diserap oleh Maria D Sawias van der Mollen. Wanita paruh baya yang berprofesi dokter itu kini diakui negara sebagai penemu ramuan tradisional asal tanah kelahirannnya, Papua. Dia diakui sebagai penemu obat kanker yang berasal dari benalu. Pengakuan itu disampaikan sendiri oleh Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsuddin di kantor Kemenhukham, Senin (31/10). Penghargaan disampaikan kala peringatan Hari Jadi Kemenhukham yang dirayakan setiap 30 Oktober.
            Bukan sembarang penghargaan ini diberikan pada Maria. Wanita ini dinilai sebagai penemu pertama obat kanker dari bahan baku benalu. Tapi bukan itu saja. Dia dinyatakan juga sebagai inventor ‘penemu’ obat kanker yang juga seorang nasionalis. Karena, sebagai penemu obat kanker, tawaran menjual temuan dari sebuah lembaga pendidikan di Inggris ditolaknya. “Tentu saya tolak,” ungkap Maria pada wartawan seusai menerima penghargaan. Padahal, tawaran yang disodorkan Oxford University terbilang cukup fantastis, dua juta poundsterling.
            Maria mengaku bukan tak tergiur dengan nilai uang yang besar itu. Apabila tawaran diterima, pihak penawar sebelumnya mengajukan syarat yang menurutnya tidak menguntungkan. “Tak hanya buat saya tapi buat masyarakat dan keragaman hayati Papua”. Pasalnya, Oxford University mensyaratkan, nilai uang yang ditawarkan itu sekaligus untuk melepas hak Maria atas temuannya. Artinya, dia dilarang untuk memanfaatkan temuannya. Menurutnya, jika hak paten dimiliki asing, maka bumi Papua akan menjadi sarang eksploitasi peneliti asing. “Bukan tak mungkin juga, potensi lain dari keragaman Papua akan hilang dikuasai orang asing,” sebutnya.
            Godaan itu bisa ditepis. Namun Maria juga mengaku, perjuangan mendapat hak paten ini tidak secepat membalikkan tangan. Apalagi, karena dia juga tak punya informasi lengkap tentang pendaftaran hak paten. Maria sampaikan, sebelum mendaftarkan, temuan tersebut sudah dia uji coba pada hewan dan manusia. Setelah beberapa lama uji coba, maka obat tersebut dikomersilkan setelah didaftarkan untuk mendapat hak paten.
            Lalu, dari 10 pasien yang menkonsumsi obat paten produksi Maria, hanya dua yang gagal sembuh. Padahal, mereka sudah mengidap kanker dengan stadium tiga B. Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Ahmad M Ramly, menyatakan penghargaan ini sekaligus bukti pada dunia, bahwa ada inventor asal Indonesia. “Kita ingin buktikan inventor nasional sanggup menemukan obat kanker dan dapat berguna untuk masyarakat dunia,” ujarnya.
Menurutnya, Maria sudah lama mendaftarkan temuannya untuk mendapatkan hak paten. Namun, pihak pendaftar belum segera menyatakan untuk menerima sertifikat hak paten. Terpenting, lanjutnya, pemerintah tidak lambat memprosesnya karena sudah ada program jemput bola pada para penemu agar mendaftarkan temuannya. Dirjen HKI menyatakan, kini terkesan pemerintah lambat memproses pendaftaran hak paten yang diajukan masyarakat. Namun, lanjutnya, faktanya tidak seperti itu. Karena sebagian inventor tidak ingin segera menerima sertifikat hak paten setelah mendaftarkan temuannya.
Tujuannya, lanjut pakar hukum kekayaan intelektual ini, banyak penemu setelah mendaftarkan ingin mencari pasar dari produk mereka. Karena, selama tiga tahun penemu yang mendaftarkan harus membayar administrasi pada pemerintah. Namun, kendala itu mulai dipapas. Pasalnya, Ditjen HKI telah menerbitkan surat edaran yang berisi agar pendaftar paten jika tidak dalam tiga kali tidak mengindahkan panggilan pemerintah untuk membereskan administrasi pendaftaran setelah tiga tahun, maka permohonan akan ditolak. “Namun, kewajiban pada negara tidak hilang,” ujarnya.
Jakarta - Tak semua orang mengenal Maria D Sawias van Der Molen. Sosoknya sederhana dan tak berbeda dengan ibu rumah tangga kebanyakan. Tapi jasanya bagi para penderita kanker luar biasa. Rasa cintanya pada tanah kelahiran di Papua juga sangat istimewa. Maria adalah salah seorang penerima penghargaan dari Kementerian Hukum dan HAM di bidang paten. Dia dipilih karena berhasil mematenkan temuannya, yakni obat kanker herbal.
"Ibu Maria menemukan obat kanker yang sudah teruji bisa menyembuhkan," kata pembawa acara pemberian penghargaan, Robby, di kantor Kemenkum HAM, Jl HR Rasuna Said, Kuningan, Senin (31/10/2011). Penghargaan pun disematkan langsung oleh Menkum HAM Amir Syamsuddin. Ditemui usai acara serah terima penghargaan, Maria yang tampil dengan baju biru ini tampak malu-malu menceritakan kisah temuannya. "Obat yang saya temukan ini sejenis benalu. Sebenarnya sudah lama digunakan di Papua. Kita-kita ini yang di pesisir yang pakai," tutur Maria.
Menurut wanita yang berprofesi sebagai dokter spesialis herbal ini, temuan obatnya sudah digunakan sejak tahun 1972. Namun baru didaftarkan paten di Kemenkum HAM tahun ini. Sementara obatnya sudah teruji pada pasien kanker hingga stadium tiga. Dari 10 pasien yang berobat, Maria mengklaim 8 diantaranya sembuh total. "Itu dengan lama pengobatan rata-rata 3 bulan. Tergentung stadiumnya," ucapnya.
Ada kisah menarik yang dialami istri warga keturunan Belanda ini. Hak patennya sempat ditawar oleh peneliti Oxford University senilai 2 juta Poundsterling. Namun jumlah tersebut ditolaknya. "Saya tolak. Kalau nanti mereka obok-obok Papua bagaimana? Ini semua demi anak cucu saya di Papua. Mereka dapat apa dong?" sambungnya. "Ini kita akan produksi massal, mau kerjakan ini supaya subsidi silang. Bantu orang di dalam negeri yang tidak mampu, kalau orang luar yang kita ekspor yang bayar," kisah Maria.
www.detiknews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar