TUGAS 2
PSIKOLOGI
KESEHATAN MENTAL
Disusun :
Novi tri
arianty
15511227
2pa06
Psikologi
Universitas
gunadarma
2013
CARL ROGERS
TEORI HUMANISTIK
Carl Ransom Rogers lahir pada tanggal 8 Januari
1902 di Oak Park, Illinios, Chicago. Rogers meninggal dunia pada tanggal 4
Februari 1987 karena serangan jantung. Latar belakang: Rogers adalah putra
keempat dari enam bersaudara. Rogers dibesarkan dalam keluarga yang
berkecukupan dan menganut aliran protestan fundamentalis yang terkenal keras,
dan kaku dalam hal agama, moral dan etika. Rogers terkenal sebagai seorang
tokoh psikologi humanis, aliran fenomenologis-eksistensial, psikolog klinis dan
terapis, ide – ide dan konsep teorinya banyak didapatkan dalam pengalaman
-pengalaman terapeutiknya.(Schultz 1991).
Carl Rogers adalah seorang psikolog yang
terkenal dengan pendekatan terapi klinis yang berpusat pada klien (client
centered) (Clifford 1986). Rogers kemudian menyusun teorinya dengan
pengalamannya sebagai terapis selama bertahun-tahun. Teori Rogers mirip dengan
pendekatan Freud, Namun pada hakikatnya Rogers berbeda dengan Freud karena
Rogers menganggap bahwa manusia pada dasarnya baik atau sehat. Dengan kata
lain, Rogers memandang kesehatan mental sebagai proses perkembangan hidup alamiah,
sementara , kejahatan, dan persoalan kemanusiaan lain dipandang sebagai
penyimpangan dari kecenderungan alamiah. Teori Rogers didasarkan pada suatu
“daya hidup” yang disebut kecenderungan aktualisasi. Kecenderungan
aktualisasi tersebut diartikan sebagai motivasi yang menyatu dalam setiap diri
makhluk hidup dan bertujuan mengembangkan seluruh potensinya semaksimal
mungkin. Jadi, makhluk hidup bukan hanya bertujuan bertahan hidup saja, tetapi
ingin memperoleh apa yang terbaik bagi keberadaannya.Dari dorongan tunggal
inilah, muncul keinginan-keinginan atau dorongan-dorongan lain yang disebutkan
oleh psikolog lain, seperti kebutuhan untuk udara, air, dan makanan, kebutuhan
akan rasa aman dan rasa cinta, dan sebagainya.(George 2008)
Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu:
1. Kognitif (Kebermaknaan)
2. Experiential (Pengalaman atau Signifikansi)
Meskipun teori yang dikemukan Rogers adalah salah satu dari teori
holistik, namun keunikan teori adalah sifat humanis yang terkandung didalamnya.
Teori humanistik Rogers pun menpunyai berbagai nama antara lain : teori yang
berpusat pada pribadi (person centered), non-directive,
klien (client-centered), teori yang berpusat pada murid (student-centered),
teori yang berpusat pada kelompok (group centered), dan person to
person). Namun istilah person centered yang sering
digunakan untuk teori Rogers.
Asumsi dan Prinsip Dasar Teori
- Kecenderungan
formatif: Segala hal di dunia baik organik maupun non-organik tersusun
dari hal-hal yang lebih kecil.
- Kecenderungan
aktualisasi: Kecenderungan setiap makhluk hidup untuk bergerak menuju ke
kesempurnaan atau pemenuhan potensial dirinya. Tiap individual mempunyai
kekuatan yang kreatif untuk menyelesaikan masalahnya.
Ide pokok dari teori-teori Rogers yaitu individu
memiliki kemampuan dalam diri sendiri untuk mengerti diri, menentukan hidup,
dan menangani masalah-masalah psikisnya asalkan konselor menciptakan kondisi
yang dapat mempermudah perkembangan individu untuk aktualisasi diri. (Schultz
1991)
Carl Rogers mengembangkan teorinya dari
penelitiannya bersama pasien dan klien di klinik. Rogers merasa terkesan dengan
apa yang ia lihat saat kecenderungan bawaan individu yang bergerak ke arah
pertumbuhan, maturitas, dan perubahan positif. Ia menjadi yakin bahwa kekuatan
dasar yang memotivasi organisme manusia adalah kecenderungan beraktualisasi –
suatu kecenderungan ke arah pemenuhan atau aktualisasi semua kapasitas
organisme. Organisme yang tumbuh mencari cara untuk memenuhi potensinya di
dalam batas-batas hereditasnya. Seseorang mungkin tidak selalu dengan jelas
merasakan tindakan mana yang menyebabkan pertumbuhan dan tindakan mana yang
regresif. Tetapi jika jalan itu jelas, individu memilih untuk tumbuh ketimbang
regresi. Rogers tidak menyangkal bahwa terdapat kebutuhan lain, sebagian darinya
adalah biologis., tetapi ia memandang semuanya itu sebagai patuh kepada
motivasi organisme untuk meningkatkan dirinya. Keyakinan Rogers akan keunggulan
aktualisasi membentuk dasar terapi terpusat klien yang bersifat nondirektif.
Metoda psikoterapi ini berpendapat bahwa semua individu memiliki motivasi dan
kemampuan untuk berubah dan individu adalah orang yang paling berkualifikasi
untuk menentukan arah perubahan tersebut. Peran ahli terapi adalah sebagai
papan pantul sementara individu mengeksplorasi dan menganalisis masalahnya.
Pendekatan ini berbeda dari tipe psikoanalitik, di mana ahli terapi
menganalisis pengalaman pasien untuk menentukan masalah dan menyarankan suatu
tindakan pengobatan. Inti dari konsep dalam teori kepribadian Rogers adalah diri (self).
Diri, atau konsep-diri (Rogers menggunakan keduanya), menjadi inti teotinya.
Diri terdiri dari semua ide, persepsi, dan nilai-nilai yang mengkarakterisasi
“saya” atau “aku” ; ia mencakup kesadaran “apa saya” dan “ apa yang dapat saya
lakukan.” Selanjutnya diri yang dihayati ini mempengaruhi persepsi seseorang
tentang dunia dan perilakunya. Sebagai contohnya, wanita yang merasa dirinya
kuat dan kompeten akan menghayati dan bertindak di dunia dengan cara yang
sangat berbeda dari wanita yang menganggap dirinya lemah dan tidak berguna.
Konsep diri tidak selalu mencerminkan realita : seseorang mungkin sangat
berhasil dan terhormat tetapi masih memandang dirinya sendiri sebagai orang
yang gagal.
Detail Teori
Menurut Rogers, individu menilai setiap pengalaman
berkaitan dengan konsep diri. Orang ingin bertindak dalam cara yang konsisten
dengan citra-dirinya; pengalaman dan perasaan yang tidak konsisten adalah
mengancam dirinya dan tidak diterima oleh kesadaran. Ini pada dasarnya adalah
konsep represi freud, walaupun Rogers menganggap represi tersebut tidak
diperlukan atau permanen. (Freud mengatakan bahwa represi tidak dapat dihindari
dan sebagian aspek pengalaman individu selalu tetap berada dibawah sadar.
Semakin banyak pengalaman yang disangkal oleh
seseorang karena tidak konsisten dengan konsep dirinya, semakin lebar jurang
antara dirinya dan realita dan semakin besar kemungkinan timbulnya
ketidakmampuan menyesuaikan diri. Seorang individu yang konsep dirinya tidak
sejalan dengan perasaan dan pengalaman pribadi harus melindungi dirinya sendiri
dari kebenaran karena kebenaran akan menyebabkan kecemasan. Jika
ketidaksesuaian itu menjadi terlalu besar, pertahanan mungkin runtuh,
menyebabkan kecemasan yang berat atau gangguan emosional lain.
Sebaliknya,
orang yang mampu menyesuaikan diri memiliki konsep diri yang konsisten dengan
pikiran, pengalaman, dan perilaku ; diri tidak kaku tetapi fleksibel, dan dapat
berubah saat ia mengasimilasi pengalaman dan ide baru. Diri lain dalam teori
Rogers adalah diri yang ideal. Kita semua memiliki konsepsi
jenis orang yang diri kita inginkan menjadi sepertinya. Semakin dekat diri
ideal dengan diri nyata, semakin penuh dan gembira individu yang bersangkutan.
Ketidaksesuaian yang besar antara diri ideal dan diri nyata menghasilkan orang
yang tidak puas dan tidak gembira.
Konsep diri menurut Rogers adalah kesadaran
batin yang tetap, mengenai pengalaman yang berhubungan dengan aku dan
membedakan aku dari yang bukan aku. Konsep diri ini terbagi menjadi 2 yaitukonsep diri
real dan konsep diri ideal. Untuk menunjukkan apakah kedua
konsep diri tersebut sesuai atau tidak, Rogers telah mengenalkan 2 konsep lagi,
yaitu Incongruence dan Congruence. Incongruence
adalah ketidakcocokan antara self yang dirasakan dalam suatu pengalaman aktual disertai
pertentangan dan kekacauan batin. Sedangkan Congruence berarti
situasi di mana pengalaman diri diungkapkan dengan seksama dalam sebuah konsep
diri yang utuh, integral, dan sejati. Setiap manusia memiliki
kebutuhan dasar akan kehangatan, penghargaan, penerimaan, pengagungan, dan
cinta dari orang lain. Kebutuhan ini disebutneed for positive regard,
yang terbagi lagi menjadi 2 yaitu conditional positive regard (bersyarat)
dan unconditional positive regard (tak bersyarat). (Schultz
1991)
Jadi dua jenis ketidaksesuaian dapat terjadi :
satu, antara diri dan pengalaman realita ; dan yang lain antara diri dan diri
ideal. Rogers memiliki beberapa hipotesis tentang bagaimana ketidaksesuaian itu
dapat berkembang.
Rogers menggambarkan pribadi yang berfungsi sepenuhnya
adalah pribadi yang mengalami penghargaan positip tanpa syarat. Ini berarti dia dihargai, dicintai karena
nilai adanya diri sendiri sebagai person sehingga ia tidak bersifat defensif
namun cenderung untuk menerima diri dengan penuh kepercayaan.
Lima sifat khas orang yang berfungsi sepenuhnya
(fully
human being):
1.Keterbukaan pada pengalaman
Orang yang berfungsi sepenuhnya adalah orang
yang menerima semua pengalaman dengan fleksibel sehingga selalu timbul persepsi
baru. Dengan demikian ia akan mengalami banyak emosi (emosional) baik yang
positip maupun negatip.
2. Kehidupan Eksistensial
Kualitas dari kehidupan eksistensial dimana
orang terbuka terhadap pengalamannya sehingga ia selalu menemukan sesuatu yang
baru, dan selalu berubah dan cenderung menyesuaikan diri sebagai respons atas
pengalaman selanjutnya.
3. Kepercayaan terhadap organisme orang sendiri
Pengalaman akan menjadi hidup ketika seseorang
membuka diri terhadap pengalaman itu sendiri. Dengan begitu ia akan bertingkah
laku menurut apa yang dirasanya benar (timbul seketika dan intuitif) sehingga
ia dapat mempertimbangkan setiap segi dari suatu situasi dengan sangat baik.
4. Perasaan Bebas
Orang yang sehat secara psikologis dapat membuat
suatu pilihan tanpa adanya paksaan – paksaan atau rintangan – rintangan antara
alternatif pikiran dan tindakan. Orang yang bebas memiliki suatu perasaan
berkuasa secara pribadi mengenai kehidupan dan percaya bahwa masa depan
tergantung pada dirinya sendiri, tidak pada peristiwa di masa lampau sehingga
ia dapat meilhat sangat banyak pilihan dalam kehidupannya dan merasa mampu
melakukan apa saja yang ingin dilakukannya.
5. Kreativitas
Keterbukaan diri terhadap pengalaman dan
kepercayaan kepada organisme mereka sendiri akan mendorong seseorang untuk
memiliki kreativitas dengan ciri – ciri bertingkah laku spontan, tidak
defensif, berubah, bertumbuh, dan berkembang sebagai respons atas
stimulus-stimulus kehidupan yang beraneka ragam di sekitarnya. (Schultz 1991)
Kedudukan Pengasuhan dalam Teori
Rogers mengatakan bahwa orang-konsep diri sering
tidak sama persis dengan kenyataan. Sebagai contoh, seseorang mungkin
menganggap dirinya sangat jujur tetapi sering berbohong kepada atasannya
tentang mengapa ia terlambat untuk bekerja. Rogers menggunakan istilah ketidaksesuaian untuk
mengacu pada kesenjangan antara konsep diri dan realitas. Kesesuaian, di
sisi lain, adalah pertandingan yang cukup akurat antara konsep diri dan
realitas. Menurut Rogers, orangtua mempromosikan ketidaksesuaian jika mereka
memberi anak-anak mereka cinta bersyarat. Jika orang tua menerima anak hanya
bila anak berperilaku dengan cara tertentu, anak kemungkinan untuk memblokir
pengalaman yang dianggap tidak dapat diterima. Di sisi lain, jika orang tua
menunjukkan kasih tanpa syarat, anak dapat mengembangkan kongruensi. Orang
dewasa yang orang tuanya dalam pengasuhan memberikan cinta bersyarat, di masa
dewasa akan terus mengubah pengalaman mereka dalam rangka agar merasa diterima.
Pengasuhan sangat penting kedudukannya dimana
orangtua yang memberikan pengasuhan yang baik dapat memberikan kebutuhan penghargaan
positif tanpa syarat dimana dengan terpenuhinya kebutuhan tersebut
anak akan menjadi fungsional. Ini berarti mereka merasa dirinya dihargai oleh
orangtua dan orang lain walaupun perasaan, sikap, dan perilakunya kurang dari
ideal. Jika orangtua hanya memberikan penghargaan positif tanpa syarat, menilai
anak hanya jika ia bertindak, berpikir, atau berperasaan dengan benar, anak
kemungkinan mengalami distorsi konsep dirinya. Sebagai contohnya, perasaan kompetisi
dan permusuhan kepada adik bayi dan biasanya menghukum tindakan tersebut. Anak
agaknya harus mengintegrasikan pengalaman ini ke dalam konsep diri
mereka. Mereka mungkin memutuskan bahwa orangtua tidak menyukai mereka
dan demikian merasa ditolak. Atau mereka mungkin menyangkal perasaan mereka dan
memutuskan mereka tidak ingin memukul adik. Tiap sikap itu mengandung distorsi
kebenaran. Alternatif ketiga adalah yang paling mungkin diterima oleh
anak-anak, tetapi dalam melakukannya, mereka menyangkal perasaan yang
sesungguhnya diri mereka, yang kemudian menjadi tidak disadari. Semakin orang
didorong untuk menyangkal perasaannya sendiri dan menerima nilai-nilai orang
lain, semakin tidak nyaman perasaan mereka tentang dirinya sendiri. Rogers
menyatakan bahwa pendekatan terbaik bagi orangtua adalah mengenali perasaan
anak sebagai sesuatu yang nyata sambil menjelaskan alasan mengapa perbuatan
memukul tidak dapat diterima.
TEORI
BELAJAR
SKINNER
Konsep-konsep yang
dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh
sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih
komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi
melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan
tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh
sebelumnya. Untuk lebih lengkapnya penulis akan membahas teori kondisioning
operan pada bagian berikut ini.
B. Teori Kondisioning Operan Menurut B.F.Skiner.
1. Sejarah teori Kondisioning Operan menurut
B.F. Skinner
Asas pengkondisian
operan B.F Skinner dimulai awal tahun 1930-an, pada waktu keluarnya teori S-R.
Pada waktu keluarnya teori-teori S-R. pada waktu itu model kondisian klasik
dari Pavlov telah memberikan pengaruh yang kuat
pada pelaksanaan penelitian
Skinner tidak sependapat
dengan pandangan S-R dan penjelasan reflex bersyarat dimana stimulus terus
memiliki sifat-sifat kekuatan yang tidak mengendur. Menurut Skinner penjelasan
S-R tentang terjadinya perubahan tingkah laku tidak lengkap untuk menjelaskan
bagaimana organisme berinteraksi dengan lingkungannya. Bukan begitu, banyak
tingkah laku menghasilkan perubahan atau konsekuensi pada lingkungan yang
mempunyai pengaruh terhadap organisme dan dengan begitu mengubah kemungkinan
organisme itu merespon nanti.
Asas-asas kondisioning
operan adalah kelanjutan dari tradisi yang didirikan oleh John Watson. Artinya,
agar psikologi bisa menjadi suatu ilmu, maka studi tingkah laku harus dijadikan
fokus penelitian psikologi. Tidak seperti halnya teoritikus-teoritikus S-R
lainnya, Skinner menghindari kontradiksi yang ditampilkan oleh model
kondisioning klasik dari Pavlov dan kondisioning instrumental dari Thorndike.
Ia mengajukan suatu paradigma yang mencakup kedua jenis respon itu dan
berlanjut dengan mengupas kondisi-kondisi yang bertanggung jawab atas munculnya
respons atau tingkah laku operan.
2. Kajian Teori Kondisioning Operan Menurut
B.F.Skiner
Kondisian operan adalah
sebentuk pembelajaran dimana konsekuensi-konsekuensi dari prilaku menghasilkan
perubahan dalam probabilitas prilaku itu akan diulangi. Inti dari teori
behaviorisme Skinner adalah Pengkondisian operan (kondisioning operan). Ada 6
asumsi yang membentuk landasan untuk kondisioning operan (Margaret E. Bell
Gredler, hlm 122). Asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut:
a.
Belajar itu adalah tingkah laku.
b.
Perubahan tingkah-laku (belajar) secara fungsional berkaitan
dengan adanya perubahan dalam kejadian-kejadian di lingkungan kondisi-kondisi
lingkungan.
c.
Hubungan yang berhukum antara tingkah-laku dan lingkungan hanya
dapat di tentukan kalau sifat-sifat tingkah-laku dan kondisi eksperimennya di
devinisikan menurut fisiknya dan di observasi di bawah kondisi-kondisi yang di
control secara seksama.
d.
Data dari studi eksperimental tingkah-laku merupakan satu-satunya
sumber informasi yang dapat di terima tentang penyebab terjadinya tingkah laku.
Menurut Skinner (J.W.
Santrock, 272) unsur yang terpenting dalam belajar adalah adanya penguatan
(reinforcement) dan hukuman (punishment). Penguatan dan Hukuman. Penguatan
(reinforcement) adalah konsekuensi yang meningkatkan probabilitas bahwa suatu
perilaku akan terjadi. Sebaliknya, hukuman (punishment) adalah konsekuensi yang
menurunkan probabilitas terjadinya suatu perilaku. Menurut Skinner penguatan
berarti memperkuat, penguatan dibagi menjadi dua bagian yaitu :
- Penguatan
positif adalah penguatan berdasarkan prinsif bahwa frekuensi respons
meningkat karena diikuti dengan stimulus yang mendukung (rewarding).
Bentuk-bentuk penguatan positif adalah berupa hadiah (permen, kado,
makanan, dll), perilaku (senyum, menganggukkan kepala untuk menyetujui,
bertepuk tangan, mengacungkan jempol), atau penghargaan (nilai A, Juara 1
dsb).
- Penguatan
negatif, adalah penguatan berdasarkan prinsif bahwa frekuensi respons meningkat
karena diikuti dengan penghilangan stimulus yang merugikan (tidak
menyenangkan). Bentuk-bentuk penguatan negatif antara lain: menunda/tidak
memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku
tidak senang (menggeleng, kening berkerut, muka kecewa dll).
Satu cara untuk mengingat perbedaan antara
penguatan positif dan penguatan negatif adalah dalam penguatan positif ada
sesuatu yang ditambahkan atau diperoleh. Dalam penguatan negatif, ada sesuatu
yang dikurangi atau di hilangkan. Adalah mudah mengacaukan penguatan negatif
dengan hukuman. Agar istilah ini tidak rancu, ingat bahwa penguatan negatif
meningkatkan probabilitas terjadinya suatu prilaku, sedangkan hukuman
menurunkan probabilitas terjadinya perilaku. Ingat bahwa penguatan bisa
berbentuk postif dan negatif. Dalam kedua bentuk itu, konsekuensi meningkatkan
prilaku. Dalam hukuman, perilakunya berkurang.
Skinner menghasilkan
suatu sistem ringkas yang dapat diterapkan pada dinamika perubahan tingkah laku
baik di laboratorium maupun di dalam kelas. Belajar, yang digambarkan oleh
makin tingginya angka keseringan respons, diberikan sebagai fungsi urutan
ketiga unsure (SD)-(R)-(R Reinsf). Skinner menyebutkan praktek khas menempatkan
binatang percobaan dalam “kontigensi terminal”. Maksudnya, binatang itu harus
berusaha penuh resiko, berhasil atau gagal, dalam mencari jalan lepas dari
kurungan atau makanan. Bukannya demikian itu prosedur yang mengena ialah
membentuk tingkah-laku binatang itu melalui urutan Sitimulus-respon-penguatan
yang diatur secara seksama.
Skinner menggambarkan
praktek “tugas dan ujian” sebagai suatu contoh menempatkan pelajar yang manusia
itu dalam kontigensi terminal juga. Skinner menyarankan penerapan cara pemberian
penguatan komponen tingkah laku seperti menunjukkan perhatian pada stimulus dan
melakukan studi yang cocok terhadap tingkah laku. Hukuman harus dihindari
karena adanya hasil sampingan yang bersifat emosional dan tidak menjamin
timbulnya tingkah laku positif yang diinginkan. Analisa yang dilakukan Skinner
tersebut diatas meliputi peran penguat berkondisi dan alami, penguat positif
dan negatif, dan penguat umum. Dengan demikian beberapa prinsip belajar yang
dikembangkan oleh Skinner antara lain:
- Hasil
belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan,
jika benar diberi penguat.
- Proses
belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.
- Materi
pelajaran, digunakan sistem modul.
- Dalam
proses pembelajaran, lebih dipentingkan aktivitas sendiri.
- Dalam
proses pembelajaran, tidak digunakan hukuman. Namun ini lingkungan perlu
diubah, untuk menghindari adanya hukuman.
- Tingkah
laku yang diinginkan pendidik, diberi hadiah, dan sebagainya. Hadiah
diberikan dengan digunakannya jadwal variable rasio reinforce
- Dalam
pembelajaran, digunakan shaping.
Disamping itu pula dari
eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap
burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
- Law
of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan
stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
- Law
of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah
diperkuat melalui proses conditioning
itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku
tersebut akan menurun bahkan musnah.
1.
Aplikasi Skinner terhadap pembelajaran.
Beberapa aplikasi teori belajar Skinner dalam
pembelajaran adalah sebagai berikut:
- Bahan yang dipelajari dianalisis sampai pada unit-unit secara organis.
- Hasil berlajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan dan jika benar diperkuat.
- Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar. Materi pelajaran digunakan sistem modul.
- Tes lebih ditekankan untuk kepentingan diagnostic.
- Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas sendiri.
- Dalam proses pembelajaran tidak dikenakan hukuman.
- Dalam pendidikan mengutamakan mengubah lingkungan untuk mengindari pelanggaran agar tidak menghukum.
- Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah.
- Hadiah diberikan kadang-kadang (jika perlu)
- Tingkah laku yang diinginkan, dianalisis kecil-kecil, semakin meningkat mencapai tujuan.
- Dalam pembelajaran sebaiknya digunakan pembentukan (shaping).
- Mementingkan kebutuhan yang akan menimbulkan tingkah laku operan.
- Dalam belajar mengajar menggunakan teaching machine.
- Melaksanakan
mastery learning yaitu mempelajari bahan secara tuntas menurut waktunya
masing-masing karena tiap anak berbeda-beda iramanya. Sehingga naik atau
tamat sekolah dalam waktu yang berbeda-beda. Tugas guru berat, administrasi
kompleks.
2.
Analisa Perilaku terapan dalam pendidikan
Analisis
Perilaku terapan adalah penerapan prinsip pengkondisian operan untuk mengubah
perilaku manusia. Ada tiga penggunaan analisis perilaku yang penting dalam
bidang pendidikan yaitu
- Meningkatkan
perilaku yang diharapkan. Ada lima strategi pengkondisian operan dapat
dipakai untuk meningkatkan perilaku anak yang diharapkan yaitu:
- Memilih
Penguatan yang efektif
Tidak semua penguatan
akan sama efeknya bagi anak. Analisis perilaku terapan menganjurkan agar guru
mencari tahu penguat apa yang paling baik untuk anak, yakni
mengindividualisasikan penggunaan penguat tertentu. Untuk mencari penguatan
yang efektif bagi seorang anak, disarankan untuk meneliti apa yang memotivasi
anak dimasa lalu, apa yang dilakukan murid tapi tidak mudah diperolehnya, dan
persepsi anak terhadap manfaat dan nilai penguatan. Penguatan alamiah seperti
pujian lebih dianjurkan ketimbang penguat imbalan materi, seperti permen,
mainan dan uang.
b. Menjadikan penguat
kontingen dan tepat waktu
Agar penguatan dapat
efektif, guru harus memberikan hanya setelah murid melakukan perilaku tertentu.
Analisis perilaku terapan seringkali menganjurkan agar guru membuat pernyataan
“jika…maka”. penguatan akan lebih efektif jika diberikan tepat pada waktunya,
sesegera mungkin setelah murid menjalankan tindakan yang diharapkan. Ini akan
membantu anak melihat hubungan kontingensi antar-imbalan dan perilaku mereka.
Jika anak menyelesaikan perilaku sasaran (seperti mengerjakan sepuluh soal
matematika) tapi guru tidak memberikan waktu bermain pada anak, maka anak itu
mungkin akan kesulitan membuat hubungan kontingensi.
c. Memilih jadwal
penguatan terbaik
Menyusun jadwal
penguatan menentukan kapan suatu respons akan diperkuat. Empat jadwal penguatan
utama adalah:
- Jadwal
rasio tetap: suatu perilaku diperkuat setelah sejumlah respon.
- Jadwal
rasio variabel : suatu perilaku diperkuat setelah terjadi sejumlah respon,
akan tetapi tidak berdasarkan basis yang dapat diperidiksi.
- Jadwal
interval - tetap : respons tepat pertama setelah beberapa waktu akan
diperkuat.
- Jadwal
interval - variabel : suatu respons diperkuat setelah sejumlah variabel waktu
berlalu.
c.
Menggunakan Perjanjian.
Perjanjian (contracting)
adalah menempatkan kontigensi penguatan dalam tulisan. Jika muncul problem dan
anak tidak bertindak sesuai harapan, guru dapat merujuk anak pada perjanjian
yang mereka sepakati. Analisis perilaku terapan menyatakan bahwa perjanjian
kelas harus berisi masukan dari guru dan murid. Kontrak kelas mengandung
pernyataan “jika… maka” dan di tandatangani oleh guru dan murid, dan kemudian
diberi tanggal.
d.
Menggunakan penguatan negatif secara efektif
Dalam penguatan negatif,
frekuensi respons meningkat karena respon tersebut menghilangkan stimulus yang
dihindari.seorang guru mengatakan ”Pepeng, kamu harus menyelesaikan PR mu dulu
diluar kelas sebelum kamu boleh masuk kelas ikut pembelajaran” ini berarti
seorang guru menggunakan penguatan negatif.
- Menggunakan
dorongan (prompt) dan pembentukkan (shaping).
Prompt
(dorongan) adalah stimulus tambahan atau isyarat tambahan yang diberikan
sebelum respons dan meningkatkan kemungkinan respon tersebut akan terjadi.
Shapping (pembentukan) adalah mengajari perilaku baru dengan memperkuat
perilaku sasaran.
3. Mengurangi perilaku
yang tidak diharapkan.
Ketika guru ingin
mengurangi perilaku yang tidak diharapkan (seperti mengejek, mengganggu diskusi
kelas, atau sok pintar) yang harus dilakukan berdasarkan analisis perilaku
terapan adalah
- Menggunakan
Penguatan Diferensial.
- Menghentikan
penguatan (pelenyapan)
- Menghilangkan
stimuli yang diinginkan.
- Memberikan stimuli yang tidak disukai (hukuman)
5. Kelebihan dan kekurangan Menurut B.F. Skinner
a. Kelebihan
Pada teori ini, pendidik
diarahkan untuk menghargai setiap anak didiknya. hal ini ditunjukkan dengan
dihilangkannya sistem hukuman. Hal itu didukung dengan adanya pembentukan
lingkungan yang baik sehingga dimungkinkan akan meminimalkan terjadinya
kesalahan.
b. Kekurangan
Beberapa kelemahan dari teori ini berdasarkan analisa teknologi
(Margaret E. B. G. 1994) adalah bahwa: (i) teknologi untuk situasi yang
kompleks tidak bisa lengkap; analisa yang berhasil bergantung pada keterampilan
teknologis, (ii) keseringan respon sukar diterapkan pada tingkah laku kompleks
sebagai ukuran peluang kejadian. Disamping itu pula, tanpa adanya sistem
hukuman akan dimungkinkan akan dapat membuat anak didik menjadi kurang mengerti
tentang sebuah kedisiplinan. hal tersebuat akan menyulitkan lancarnya kegiatan
belajar-mengajar. Dengan melaksanakan mastery learning, tugas guru akan menjadi
semakin berat.
Beberapa Kekeliruan
dalam penerapan teori Skinner adalah penggunaan hukuman sebagai salah satu cara
untuk mendisiplinkan siswa. Menurut Skinner hukuman yang baik adalah anak merasakan
sendiri konsekuensi dari perbuatannya. Misalnya anak perlu mengalami sendiri
kesalahan dan merasakan akibat dari kesalahan. Penggunaan hukuman verbal maupun
fisik seperti: kata-kata kasar, ejekan, cubitan, jeweran justru berakibat buruk
pada siswa.
TEORI
PSIKOANALISIS SOSIAL
KAREN
HORNEY
Karen Horney lahir di
Hamburg, Jerman 16 September 1885, dan meninggal di New York, 4 Desember 1952.
Ia mendapatkan training medis di University of Berlin dan berasosiasi dengan
Berlin Psychoanalitic Institute dari tahun 1918 sampai tahun 1932. Dia mendapat
analisa dari Karl Abraham dan Hans
Sachs, dua orang training analis terkemuka di Eropa saat itu. Atas undangan
Alexander, dia berkunjung ke Amerika dan menjadi Associate Director dari
Chicago Psychoanalitic Institute, selama dua tahun. Tahun 1934 ia pindah ke New
York dimana ia mempraktekkan psikoanalisa dan mengajar pada New York
Psychoanalitic Institute. Merasa tidak puas dengan ajaran psikoanalisa yang
ortodoks, ia dengan orang-orang yang sefaham mendirikan The Association for the
Advancement of Psychoanalisis. Ia menjadi kepala Institute tersebut sampai
wafatnya.
Horney mengambarkan
ide-idenya sebagai pelengkap kerangka dari psikologi Freudian, jadi bukan
sebagai pendekatan baru dalam memahami keseluruhan kepribadian. Ia berkeinginan
mengeliminir beberapa ketidakbenaran dalam pemikiran Freud. “Ketidakbenaran
yang mendasar, menurutnya adalah di dalam orientasi yang bersifat mekanistis
dan biologis demi realisasi psychoanalysis agar benar-benar potensial sebagai
ilmu tentang manusia”. Horney sangat keberatan akan konsep Freud tentang Penis
Envy (hubungan kasih sayang yang berlebihan) sebagai faktor penentu dalam
psikologi wanita. Freud mengobservasi sikap dan perasaan yang tersendiri dari
wanita dan konflik-konflik yang tercipta berasal dari perasaan akan genital
inferiority dan kecemburuan terhadap lelaki. Horney yakin bahwa feminine
psychology didasari oleh kurangnya keyakinan diri dan penekanan yang berlebihan
akan hubungan kasih sayang, dan kecil sekali kaitannya dengan masalah anatomi
dari organ sex (pandangan Horney tentang feminine psychology telah dikumpulkan
dan dipublikasikan setelah wafatnya, 1967).
Perihal Oedipus Complex,
Horney merasa bahwa hal ini bukanlah konflik ‘sexual aggressive’ antara anak
dengan orang tuanya, namun merupakan kecemasan yang berkembang dari
gangguan-gangguan mendasar, contohnya : rejection, over protection dan
punishment, dalam hubungan antara anak dengan ayah dan ibunya. Agresi bukanlah
dibawa sejak lahir, seperti kata Freud, namun hal itu punya makna sebagai upaya
manusia dalam melindungi rasa amannya (securitynya).
Narcisism bukanlah cinta
diri sebenarnya, tetapi merupakan self inflation dan over evaluation disebabkan
adanya perasaan tidak aman. Horney juga membahas konsep-konsep Freud
selanjutnya, seperti halnya: repetition compulsion, the id, ego dan super ego,
anxiety, dan masochism (1939). Dari segi positifnya, Horney mempertahankan
teori-teori Freud sebagai doktrin fundamental dalam ‘psychis determinism’,
‘unconscious motivation’ dan ‘emotional’, ‘non rational motives’.
Konsep Horney yang
pertama adalah tentang ‘basic anxiety’, yang definisinya sebagai berikut:
“…..the feeling a child
has of being isolated dan helpless in a potentially hostile world. A wide range
of adverse factors in the environtment can produce this in security in a child
: direct or indirect domination, indifference, erratic behavior, lack of
respect for the child’s individual need’s, lack of real guidance, disparaging
attitudes, too much admiration or the absence of it, lack of reliable warmth,
having to take sides in parental disagreements, too much or too little
responsibility, overprotection, isolation from other children, injustice, discrimination,
unkept promises, hostile atmosphere, and so on and so on.
Pada umummya, segala
sesuatu yang mengganggu rasa aman dari anak dalam relasinya dengan orang tuanya
akan menghasilkan ‘basic anxiety’. Anak yang insecure, anxious akan
mengembangkan strategi tertentu dalam mengatasi perasaan terisolasi dan
ketidakberdayaan tersebut (1937). Ia bisa menjadi hostile dan mencari cara
membalas dendam terhadap orang-orang yang telah menolaknya dan memperlakukan
dirinya secara tidak benar. Atau dia dapat juga menjadi ‘submissive’ guna
mendapatkan kembali akan ‘love’ yang ia rasakan telah hilang.
Anak akan berkembang ke
arah unrealistis, dan idealisasi dari gambaran diri dalam rangka kompensasinya
akan perasaan rendah diri (1950). Anak tersebut akan berusaha ‘menyuap’ orang
lain agar mencintainya, atau akan menggunakan ancaman untuk mendesak agar orang
menyukainya. Apabila anak gagal mendapatkan cinta, mungkin ia berusaha
mendapatkan kekuasaan atas orang lain dengan cara mengkompensir perasaan
ketakberdayaan dan mencari penyaluran dari hostility, atau dapat pula dengan
mengeksploitasi orang lain. Dapat pula seorang anak menjadi sangat kompetitif,
dimana kemenangan baginya adalah lebih penting daripada achievement, hal
tersebut akan mengalihkan dan mengurangi agresinya dalam batin.
Setiap strategi itu akan
menjadi sangat ataupun kurang menetap di dalam kepribadian. Sebagian strategi akan mengangkat karakter
dari drive atau kebutuhan di dalam dinamika dari kepribadiannya. Horney
menyajikan suatu daftar dari sepuluh kebutuhan yang didapat sebagai konsekuensi
dari usaha mencari pemecahan masalah gangguan dalam relasi antar manusia
(1942). Ia menyebut kebutuhan-kebutuhan ini ‘neurotics’ karena sifatnya berupa
pemecahan yang ‘irrational’ terhadap problem.
1. The neurotic need for affection and
approval.
Need ini disirikan oleh
indiskriminasi harapan menyenangkan orang lain danmenuruti harapan orang lain.
Orang ini hidup dengan mengutamakan pendapat yang baik dari orang lain dan
angat peka terhadap tanda-tanda penolakan atau tidak bersahabat.
2. The neurotic need for a ‘partner’ who will
take over one’s life.
Individu dengan need
semacam ini adalah parasit. Ia selalu menilai love secara berlebihan dan sangat
kuatir akan kesendirian.
3. The neurotic need to restrict one’s life
within narrow borders.
Individu yang tidak
banyak menuntut, sedikit memiliki, tidak menarik perhatian, dan menilai segala
sesuatu secara biasa saja.
4. The neurotic need for power.
Need ini diekspresikan
dengan mengidam-idamkan kekuasaan, jelas terlihat di dalam indiskriminasi
antara pemuliaan kekuatan dan penghinaan akan kelemahan. Individu yang takut
mempergunakan kekuasaan secara terang-terangan akan mencoba menguasai orang
lain lewat eksploitasi intelektual dan superioritas. Variasi lain dari dorongan
power adalah need untuk mempercayai kekuasaan dari kemauan. Beberapa individu
merasa bahwa mereka dapat melakukan segala sesuatu dengan memakai kekuatan
kemauan.
5. The neurotic need to exploit others.
Need ini diekspresikan
dengan mengeksploitasi orang lain, baik secara intelektual maupun superioritas.
6. The
neurotic need for prestige
Suatu evaluasi diri yang
ditentukan oleh sejumlah penerimaan dan pengenalan dari public.
7. The
neurotic need for personal adiration
Individu dengan need ini
memiliki gambaran diri yang inflated dan selalu menjaga keabadian hal tersebut,
bukan untuk disesuaikan denga kenyataan yang ada.
8. The
neurotic ambition for personal achievement
Beberapa individu menginginkan hal terbaik dan
dorongan diri sendiri untuk mendapatkan achievement yang selalu lebih baik
sebagai akibat dari basic insecurity nya.
9. The
neurotic need for self-sufficiency and independence
Beranggapan bahwa
dirinya tidak beruntung dalam mendapatkan kehangatan, relasi yang memuaskan dengan
orang-orang. Individu ini memisahkan diri dari orang lain dan menolak segala
keterikatan. Mereka menjadi ‘loners’
10. The
neurotic need for perfection and unassailability
Ketakutan akan berbuat
kesalahan dan mendapat kritik, individu yangmemiliki need ini mencoba membuat
dirinya sebagai orang yangtak pernah bersalah. Mereka tetap mencari kesalahan
pada diri mereka sehingga mereka dapat menutupinya sebelum hal tersebut
diketahui oleh orang lain.
Kesepuluh need ini
merupakan sumber dari berkembangnya konflik dalam diri, sebagai contoh ‘the
neurotic need for love’, tak pernah merasa kecukupan; semakin banyak orang
neurotic ini mendapatkan, semakin banyak pula yang ia inginkan, sebagai
konsekuensinya, maka mereka tak akan pernah merasa puas. Demikian pula, ‘need
for independence’, tidak pernah terpuaskan secara penuh, karena bagian lain
dari kepribadiannya menginginkan perasaan dicintai dan disanjung. Penemuan akan
kesempurnaan tentunya hilang karena pada awalnya semua need di atas adalah
unrealitas. Dalam publikasi yang terakhir (1945), Horney mengklasifikasikan
kesepuluh needs ini ke dalam 3 (tiga) bagian:
1. Moving toward people, contohnya: Kebutuhan
akan cinta
2. Moving away from people, contohnya: Kebutuhan
akan independensi
3. Moving agains people, contohnya: Kebutuhan
akan kekuasaan
Setiap rubrik menyajikan
orientasi dasar terhadap orang lain dan diri sendiri. Horney menemukan
perbedaan orientasi dasar untuk ‘inner conflict’. Perbedaan yang hakiki antara
orang normal dan neurotic, adalah dalam derajad the disparity between the
conflicting issues is much less great for the normal person than for the
neurotic (1945). Dengan kata lain, maka setiap orang memiliki konflik semacam
itu, namun untuk sementara orang, terutama yang mengalami rejection di masa
awalnya atau neglect, over protection, dan berbagai macam perlakuan orang tua
yang tidak menguntungkan, mendorong mereka dalam bentuk kesukaran-kesukaran.
Sementara itu individu
normal akan menyelesaikan konflik ini dengan mengintergrasikan tiga orientasi,
bila mereka tidak sama-sama eksklusif, individu neurotics, karena basic anxiety
yang lebih besar, harus memakai solusi yang irrasional dan artificial. Ia
secara sadar hanya kenal pada salah satu dari kecenderungan dan penolakan atau
represi dua hal yang lain. Atau individu menciptakan suatu self image yang
ideal dimana kecenderungan kontradiktif akan berkurang, walaupun sesungguhnya
tidaklah demikian.
Dalam bukunya yang
terakhir (1950). Horney banyak memperbincangkan tentang konsekuensi yang merugikan
yang berasal dari perkembangan dari konsep diri yang tidak riil dan dari usaha
mempertahankan gambaran yang diidealisir. Upaya mencari kesempurnaan /
kemuliaan, perasaan menghina terhadap diri, ketergantungan akan rasa sakit
akibat orang lain, dan penghinaan diri, merupakan beberapa ketidaksehatan dan
akibat yang merusak sebagai hasil dari idealized self.
Solusi ketiga digunakan
oleh individu neurotics untuk inner konfliknya dan mengeksternalisasikan hal
itu. Individu tersebut berkata, sebagai akibatnya; saya tidak ingin
mengeksploitisir orang lain, merekalah yang ingin mengeksploitisir saya’.
Solusi semacam ini menciptakan konflik antara individu dengan dunia luar.
Kesemua konflik di atas
akan terhindarkan dan terselesaikan, apabila seorang anak tumbuh dalam satu
keluarga yang aman, love trust, respek, toleransi dan adanya kehangatan. Oleh
sebab itu, Horney lain dengan Freud dan Jung, tidak berpendapat bahwa konflik
tersebut merupakan ciri alamiah manusia dan kemudian tak dapat dielakkan.
Konflik muncul dari kondisi sosial, ‘individu yang menjadi neurotis adalah
individu yang memiliki pengalaman kesulitan yang besar dari determinasi kultur,
kebanyakan melalui media pengalaman di masa kanak-kanak.
DAFTAR
PUSTAKA
· Hall,
Calvin. Lindsay, Gardner. Editor: Sugiyono. 1993. Psikologi Kepribadian
3 Teori-Teori Kepribadian dan Behavioristik. Kanisius : Yogyakarta
· Feist,
J & Gregory Feist (2010). Teori Kepribadian, Edisi 7, Buku 2.
Jakarta: Salemba Humanika
· Suryabrata,
S (2011). Psikologi Kepribadian. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
· B.F.
Skinner and radical behaviorism, Ali, Muh. 1978. Guru Dalam Proses Belajar
Mengajar. Bandung: Sinar Baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar